Yang
dimaksud penyuluh adalah penyuluh pegawai negeri sipil (PNS) yang berada di
lingkungan Kantor Penyuluhan Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten
Kotawaring Barat. Mengapa yang disorot hanya penyuluh? Pertama, ada yang
mengatakan bahwa penyuluh merupakan “ujung tombak” pembangunan sesuai dengan
sektornya. Kedua, ada yang mengatakan bahwa aksi penyuluh merupakan cerminan
kinerja instansi satuan administasi pangkalnya. Ketiga, ada yang mengatakan
bahwa penyuluh merupakan agen perubahan. Keempat, ada yang mengatakan bahwa
menjadi penyuluh itu tidak gampang. Kelima, ada rumor yang mengatakan bahwa
penyuluh tidak pernah mengadakan pertemuan kelompok. Keenam, ada yang
mengatakan bahwa cepat atau lambat fasilitas bagi penyuluh akan lebih
ditingkatkan. Ketujuh, ada rumor yang mengatakan bahwa penyuluh hanya makan
gaji buta. Dan, barangkali masih banyak pernyataan lain yang menunjukkan adanya
"tantangan dan harapan" bagi para penyuluh.
Enak
atau tidak enak, baik atau tidak baik, benar atau salah, sah atau tidak
sah, pernyataan-pernyataan tersebut di atas menunjukkan masih adanya pengakuan
atas keberadaan penyuluh. Tidak ada yang abadi, kecuali perubahan. Oleh karena
itu, tidak ada salahnya jika kita untuk selalu bercermin diri. Apakah yang kita
lakukan sudah sesuai harapan? Apakah kita telah membekali diri untuk menghadapi
tantangan yang ada? Sementara teknologi informasi dan komunikasi berkembang
cepat dan berpengaruh terhadap segala sisi-sisi kehidupan, termasuk bidang
penyuluhan.
KJF dan PPL
Kita
coba memahami kembali apa yang dimasud KJF, dan apa yang dimaksud PPL. Sebagian
dari kita, atau barangkali sebagian besar dari kita, selama ini memahami atau
menganggap bahwa Kelompok Jabatan Fungsional (KJF) adalah jabatan fungsional
yang hanya melaksanakan kegiatannya di kantor, atau katakanlah jabatan
struktural bayangan. Sedangkan PPL (yang sebenarnya sebutan ini sudah tidak
tepat lagi untuk era sekarang) adalah jabatan fungsional penyuluh yang hanya
melaksanakan kegiatannya di lapangan atau lokasi. Benarkah anggapan yang
demikian?
Jika
kita mengamini anggapan tersebut di atas, tidak salah jika ada yang berpendapat
bahwa kita belum mampu memahami uraian tugas pokok dan fungsi kita sebagai
penyuluh. Jika kita pelajari kembali tentang uraian tugas pokok, dan fungsi
penyuluh secara umum, berdasarkan lokasi penyuluh dalam melaksanakan kegiatan
penyuluhannya, ada kalanya penyuluh melaksanakan kegiatan penyuluhannya di
kantor, dan ada kalanya melaksanakan kegiatan penyuluhannya di luar kantor.
Masalahnya sekarang, mampukah kita membedakan apa itu KJF, dan apa itu PPL?
Kelompok Jabatan Fungsional (KJF), menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah, bahwa Kelompok Jabatan Fungsional terdiri dari sejumlah tenaga fungsional yang diatur dan ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kelompok Jabatan Fungsional dipimpin oleh seorang tenaga fungsional senior yang ditunjuk. Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Barangkali yang dimaksud peraturan perundang-undangan tersebut adalah Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/02/MENPAN/2/2008 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian dan Angka Kreditnya, Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/19/M.PAN/10/2008 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Perikanan dan Angka Kreditnya, Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor: 32 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 130/KEP/M.PAN/12/2002 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan dan Angka Kreditnya, berikut turunan-turunannya.
Menurut Peraturan
Bupati Kotawaringin Barat Nomor 33 Tahun 2009 tentang Tugas Pokok dan Fungsi Kantor
Penyuluhan Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Kotawaringin Barat, Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas melaksanakan sebagian
tugas teknis Penyuluhan Pertanian dan Ketahanan Pangan di bidang kegiatan
persiapan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan, serta pengembangan penyuluhan
pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan dan kehutanan sesuai keahlian dan
keterampilan. Pernyataan ini selain kalimatnya kepanjangan, substansinya juga
kurang tepat, apalagi ada kata “sebagian”. Lebih tepat jika diubah menjadi “Kelompok Jabatan
Fungsional mempunyai tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Terlepas dari kekurangsempurnaan yang ada, istilah KJF jelas-jelas ada aturan
mainnya. Bagaimana dengan PPL?
PPL adalah singkatan dari Penyuluh Pertanian Lapangan, yang
mana sebutan tersebut populer di era BIMMAS, bahkan hingga sekarang, konon pada
masa itu, keberadaannya dinilai berandil besar dalam menyukseskan swasembada
beras nasional. Namun di era sekarang, sulit menjelaskan apa yang dimaksud PPL.
Ingat, jika sekarang ada penyuluh kehutanan, akankah ada sebutan PKL? Jika ada huruf
”L”, yang maksudnya lapangan, apakah selalu penyuluh melaksanakan kegiatannya
di lapangan? Jadi ingat komentar Pak
Camat, ”Lapangan yang mana..? Jangan-jangan lapangan futsal...”. Dengan
adanya keterbatasan dalam hal memahami pengertian PPL di era sekarang, maka
dalam pembahasan selanjutnya, sebutan ”PPL” diganti dengan sebutan ”penyuluh”.
Tantangan dan Harapan
Bicara soal jabatan, barangkali
sebagian dari kita berpikiran bahwa jabatan fungsional tidak segengsi seperti jabatan
struktural, apalagi sebagai pejabat fungsional penyuluh. Cangkul, sawah, kolam,
lumpur, kumuh sebagai gambarannya. Penyuluh juga dipandang hanya sebagai
pelaksana saja. Oleh karenanya, tidak dipungkiri, ada pihak-pihak yang dengan
ringannya, dengan dangkalnya, mengkritisinya. Kritis boleh-boleh saja, asal
solutif, bukan sekedar cacian atau cemoohan yang justru kontradiktif.
Tapi untunglah, jika
kebenaran pernyataan tersebut di atas hanya ada pada pikiran yang bersifat
sesaat, dan kita anggap sebagai ujian dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan,
itu akan lebih baik. Akan tetapi, jika menganggap benar dan mendarah daging, hingga
lari menghindar dari amanah yang telah diberikan, lupa akan jatidirinya, lupa
akan di mana tempat kerjanya, itu pengecut namanya.
Sebagian merasa lebih hebat, hanya
dengan mengorek keburukan rekan seprofesi, daripada diskusi yang konstruktif. Andaikan
saja kita menerapkan salah asas penyuluhan yaitu asas ”bertanggung gugat”, yang
mana pengertiannya adalah bahwa “evaluasi kinerja
penyuluhan dikerjakan dengan membandingkan pelaksanaan yang telah dilakukan
dengan perencanaan yang telah dibuat dengan sederhana, terukur, dapat dicapai,
rasional, dan kegiatannya dapat dijadwalkan”, apakah kita sudah bekerja dengan baik? Senangkah kita, jika kita mampu
menjatuhkan rekan sendiri, sementara kita menunpuk dosa?
Perubahan begitu
cepat. Akibat semakin canggihnya teknologi informasi dan komunikasi, semakin
cepat pula perubahan terjadi. Tentu, harapannya adalah perubahan yang lebih
baik. Penyuluh sebagai agen perubahan, seberapa mau, seberapa mampu, memanfaatkan
teknologi tersebut. Ataukah kita hanya siap menjadi penonton atas
perubahan-perubahan yang terjadi?
Yakin, bahwa tidak semua penyuluh bisa
melaksanakan kegiatan yang bersifat administrasi dengan baik, dan demikian juga
yakin, bahwa tidak semua penyuluh yang bisa melaksanakan kegiatan kunjungan
dengan baik. Untuk itu perlu adanya perubahan, khususnya dalam hal pembagian
wilayah kerja penyuluhan . Jika selama ini, upaya peningkatan kinerja penyuluh
dilakukan melalui pendekatan personal belum sesuai harapan, bagaimana jika
melalui pendekatan sistem.
Reformasi KJF
Kata ”reformasi” disini diartikan sebagai upaya untuk penataan
kembali. Sedangkan KJF adalah singkatan dari ”Kelompok Jabatan Fungsional”. Jadi,
KJF hanyalah suatu kelompok, bukan suatu jabatan, atau jabatan struktural
bayangan. Reformasi KJF adalah upaya untuk menciptakan sistem kerja yang lebih
baik sesuai tugas pokok dan fungsi jabatan fungsional yang ada di dalam
kelompok tersebut. Atau, secara umum bisa dikatakan sebagai rekayasa sosial. Substansinya
adalah perubahan. Rekayasa sosial diciptakan akibat adanya gerakan sosial
dengan tujuan ideal tertentu. Dalam konteks ini, penyuluhan bisa dikategorian
sebagai gerakan sosial, yang mana tujuan idealnya adalah meningkatkan produktivitas, efisiensi
usaha, pendapatan, dan kesejahteraan, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup bagi sasaran penyuluhnnya.
KJF, dalam hal ini adalah
kelompok jabatan fungsional penyuluh di lingkungan Kantor Penyuluhan Pertanian
dan Ketahanan Pangan Kabupaten Kotawaringin Barat merupakan unsur strategis
yang menentukan keberhasilan penyuluhan (pertanian, perikanan, dan kehutanan) di
wilayah kerja penyuluhan Kabupaten Kotawaringin Barat. Jika ada pendapat yang
mengatakan bahwa kinerja penyuluhan belum maksimal, atau ada pihak yang merasa
belum puas atas kinerja penyuluhan, sebaiknya kita tanggapi secara bijak. Yang
penting kita harus punya komitmen untuk tetap mengevaluasi diri, dan berusaha
untuk lebih baik sesuai dengan perkembangan yang ada. Jika kita sepakat memang
benar bahwa kinerja penyuluhan belum maksimal atau memuaskan, tidak ada
salahnya, jika kita mencoba melakukan perubahan. Jika ini terjadi akibat
kinerja penyuluh yang belum maksimal, dan jika selama ini dalam meningkatkan
kinerja penyuluh hanya menggunakan pendekatan personal belum sesuai harapan,
maka alternatif upaya yang harus dilakukan adalah dengan perubahan sistem. Sistem
yang dimaksud adalah sistem yang mengatur tentang KJF penyuluh. Hal-hal penting
terkait dengan perubahan sistem dalam KJF penyuluh adalah lain :
1.
Mengubah sebutan ”PPL” menjadi
”Penyuluh”.
Mengingat sebutan ”PPL” sudah
tidak sinkron lagi dengan tugas pokok dan fungsi penyuluh. Bukankah ada kalanya
jika penyuluh harus mengerjakan tugas-tugas administrsi kantor? Selain itu
barangkali ada penyuluh yang mengkeret (menjadi inferior) jika disebut PPL.
2.
Menghapus anggapan bahwa KJF
adalah suatu jabatan (struktural bayangan/pekerja kantoran).
Bukankah pengelompokan jabatan itu hanya ada 2, struktural dan
fungsional?
3.
Mengubah konsep yang diterapkan
dalam pembagian wilayah kerja penyuluhan ”satu desa, satu penyuluh” menjadi
”satu wilayah kerja penyuluhan atau satu rencana kerja, dua atau tiga penyuluh.
Ini bermaksud untuk menciptakan
bergaining position penyuluh. Perlu
diakui tidak semua penyuluh trampil/ahli dalam hal kegiatan lapangan, dan tidak
semua penyuluh trampli/ahli dalam hal kegiatan administrasi kantor. Jadi dengan
2-3 penyuluh dalam satu wilayah diharapkan dapat saling menutupi kelemahan.
Selanjutnya ini bisa disebut ”Tim Kerja Penyuluhan”.
4.
Mengubah basis absensi penyuluh
di desa menjadi di BPP.
Hal ini mengingat bahwa BPP
masih banyak yang perlu dibenahi, baik status kelembagaannya, maupun
fasilitas-fasilitas lainnya. Selain itu penyuluh bukan bagian unsur pemerintah
desa. Intinya bagaimana bisa memperkuat BPP. Sedikit keluar dari konteks, jangan
terlalu banyak berpikir POSLUHDES, jika BPP masih banyak kekurangannya.
5.
Perlu adanya forum penyuluh
alternatif, selain forum tatap muka (nyata), yaitu forum di dunia maya.
Ini bisa sebagai media untuk
menyampaikan ide/gagasan dan diskusi. Selain murah, juga tak terbatas waktu.
Bayangkan andai kata semua penyuluh menyadari manfaat internet dan terbiasa
memanfaatkannya, untuk meningkatkan kapasitasnya tidak perlu menunggu undangan
diklat, walaupun diakui bahwa itu penting secara administrasi.
Penutup
Tidak
ada yang sakral, kecuali Hukum Allah, Hukum Tuhan Yang Maha Esa. Penyuluh adalah
agen perubahan, kenapa harus takut melakukan perubahan. Tentu, yang demikian
itu perlu pemikiran yang mendalam dan komprehensif.
Tulisan ini diharapkan dapat menginspirasi
insan-insan penyuluhan yang peduli terbentuknya sistem penyuluhan yang lebih
baik. Tulisan ini juga bisa diakses di www.Untuk itu, komentar, kritik dan
saran atas gagasan ini sangat diharapkan.
1 komentar:
Setuju, mohon dikawal perubahan kedepan kearah yang lebih baik, walau hanya angan-angan, moga-moga jadi kenyataan!!!!!!!!!!
Posting Komentar