Rabu, 28 Agustus 2013

REFORMASI KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL (KJF) PENYULUH


Yang dimaksud penyuluh adalah penyuluh pegawai negeri sipil (PNS) yang berada di lingkungan Kantor Penyuluhan Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Kotawaring Barat. Mengapa yang disorot hanya penyuluh? Pertama, ada yang mengatakan bahwa penyuluh merupakan “ujung tombak” pembangunan sesuai dengan sektornya. Kedua, ada yang mengatakan bahwa aksi penyuluh merupakan cerminan kinerja instansi satuan administasi pangkalnya. Ketiga, ada yang mengatakan bahwa penyuluh merupakan agen perubahan. Keempat, ada yang mengatakan bahwa menjadi penyuluh itu tidak gampang. Kelima, ada rumor yang mengatakan bahwa penyuluh tidak pernah mengadakan pertemuan kelompok. Keenam, ada yang mengatakan bahwa cepat atau lambat fasilitas bagi penyuluh akan lebih ditingkatkan. Ketujuh, ada rumor yang mengatakan bahwa penyuluh hanya makan gaji buta. Dan, barangkali masih banyak pernyataan lain yang menunjukkan adanya "tantangan dan harapan" bagi para penyuluh.

Enak atau tidak enak, baik atau tidak baik, benar atau salah, sah  atau tidak sah, pernyataan-pernyataan tersebut di atas menunjukkan masih adanya pengakuan atas keberadaan penyuluh. Tidak ada yang abadi, kecuali perubahan. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika kita untuk selalu bercermin diri. Apakah yang kita lakukan sudah sesuai harapan? Apakah kita telah membekali diri untuk menghadapi tantangan yang ada? Sementara teknologi informasi dan komunikasi berkembang cepat dan berpengaruh terhadap segala sisi-sisi kehidupan, termasuk bidang penyuluhan.

KJF dan PPL
Kita coba memahami kembali apa yang dimasud KJF, dan apa yang dimaksud PPL. Sebagian dari kita, atau barangkali sebagian besar dari kita, selama ini memahami atau menganggap bahwa Kelompok Jabatan Fungsional (KJF) adalah jabatan fungsional yang hanya melaksanakan kegiatannya di kantor, atau katakanlah jabatan struktural bayangan. Sedangkan PPL (yang sebenarnya sebutan ini sudah tidak tepat lagi untuk era sekarang) adalah jabatan fungsional penyuluh yang hanya melaksanakan kegiatannya di lapangan atau lokasi. Benarkah anggapan yang demikian?

Jika kita mengamini anggapan tersebut di atas, tidak salah jika ada yang berpendapat bahwa kita belum mampu memahami uraian tugas pokok dan fungsi kita sebagai penyuluh. Jika kita pelajari kembali tentang uraian tugas pokok, dan fungsi penyuluh secara umum, berdasarkan lokasi penyuluh dalam melaksanakan kegiatan penyuluhannya, ada kalanya penyuluh melaksanakan kegiatan penyuluhannya di kantor, dan ada kalanya melaksanakan kegiatan penyuluhannya di luar kantor. Masalahnya sekarang, mampukah kita membedakan apa itu KJF, dan apa itu PPL?

Kelompok Jabatan Fungsional (KJF), menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah, bahwa Kelompok Jabatan Fungsional terdiri dari sejumlah tenaga fungsional yang diatur dan ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kelompok Jabatan Fungsional dipimpin oleh seorang tenaga fungsional senior yang ditunjuk. Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Barangkali yang dimaksud peraturan perundang-undangan tersebut adalah Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/02/MENPAN/2/2008 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian dan Angka Kreditnya, Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/19/M.PAN/10/2008 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Perikanan dan Angka Kreditnya, Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor: 32 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 130/KEP/M.PAN/12/2002 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan dan Angka Kreditnya, berikut turunan-turunannya.
Menurut Peraturan Bupati Kotawaringin Barat Nomor 33 Tahun 2009 tentang Tugas Pokok dan Fungsi Kantor Penyuluhan Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Kotawaringin Barat, Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas teknis Penyuluhan Pertanian dan Ketahanan Pangan di bidang kegiatan persiapan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan, serta pengembangan penyuluhan pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan dan kehutanan sesuai keahlian dan keterampilan. Pernyataan ini selain kalimatnya kepanjangan, substansinya juga kurang tepat, apalagi ada kata “sebagian”. Lebih tepat jika diubah menjadi “Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Terlepas dari kekurangsempurnaan yang ada, istilah KJF jelas-jelas ada aturan mainnya. Bagaimana dengan PPL?
PPL adalah singkatan dari Penyuluh Pertanian Lapangan, yang mana sebutan tersebut populer di era BIMMAS, bahkan hingga sekarang, konon pada masa itu, keberadaannya dinilai berandil besar dalam menyukseskan swasembada beras nasional. Namun di era sekarang, sulit menjelaskan apa yang dimaksud PPL. Ingat, jika sekarang ada penyuluh kehutanan, akankah ada sebutan PKL? Jika ada huruf ”L”, yang maksudnya lapangan, apakah selalu penyuluh melaksanakan kegiatannya di lapangan? Jadi ingat komentar Pak  Camat, ”Lapangan yang mana..? Jangan-jangan lapangan futsal...”. Dengan adanya keterbatasan dalam hal memahami pengertian PPL di era sekarang, maka dalam pembahasan selanjutnya, sebutan ”PPL” diganti dengan sebutan ”penyuluh”.

Tantangan dan Harapan
            Bicara soal jabatan, barangkali sebagian dari kita berpikiran bahwa jabatan fungsional tidak segengsi seperti jabatan struktural, apalagi sebagai pejabat fungsional penyuluh. Cangkul, sawah, kolam, lumpur, kumuh sebagai gambarannya. Penyuluh juga dipandang hanya sebagai pelaksana saja. Oleh karenanya, tidak dipungkiri, ada pihak-pihak yang dengan ringannya, dengan dangkalnya, mengkritisinya. Kritis boleh-boleh saja, asal solutif, bukan sekedar cacian atau cemoohan yang justru kontradiktif.
Tapi untunglah, jika kebenaran pernyataan tersebut di atas hanya ada pada pikiran yang bersifat sesaat, dan kita anggap sebagai ujian dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan, itu akan lebih baik. Akan tetapi, jika menganggap benar dan mendarah daging, hingga lari menghindar dari amanah yang telah diberikan, lupa akan jatidirinya, lupa akan di mana tempat kerjanya, itu pengecut namanya.
            Sebagian merasa lebih hebat, hanya dengan mengorek keburukan rekan seprofesi, daripada diskusi yang konstruktif. Andaikan saja kita menerapkan salah asas penyuluhan yaitu asas ”bertanggung gugat”, yang mana pengertiannya adalah bahwa “evaluasi kinerja penyuluhan dikerjakan dengan membandingkan pelaksanaan yang telah dilakukan dengan perencanaan yang telah dibuat dengan sederhana, terukur, dapat dicapai, rasional, dan kegiatannya dapat dijadwalkan”, apakah kita sudah bekerja dengan baik? Senangkah kita, jika kita mampu menjatuhkan rekan sendiri, sementara kita menunpuk dosa?
Perubahan begitu cepat. Akibat semakin canggihnya teknologi informasi dan komunikasi, semakin cepat pula perubahan terjadi. Tentu, harapannya adalah perubahan yang lebih baik. Penyuluh sebagai agen perubahan, seberapa mau, seberapa mampu, memanfaatkan teknologi tersebut. Ataukah kita hanya siap menjadi penonton atas perubahan-perubahan yang terjadi?
            Yakin, bahwa tidak semua penyuluh bisa melaksanakan kegiatan yang bersifat administrasi dengan baik, dan demikian juga yakin, bahwa tidak semua penyuluh yang bisa melaksanakan kegiatan kunjungan dengan baik. Untuk itu perlu adanya perubahan, khususnya dalam hal pembagian wilayah kerja penyuluhan . Jika selama ini, upaya peningkatan kinerja penyuluh dilakukan melalui pendekatan personal belum sesuai harapan, bagaimana jika melalui pendekatan sistem.

Reformasi KJF
            Kata ”reformasi” disini diartikan sebagai upaya untuk penataan kembali. Sedangkan KJF adalah singkatan dari ”Kelompok Jabatan Fungsional”. Jadi, KJF hanyalah suatu kelompok, bukan suatu jabatan, atau jabatan struktural bayangan. Reformasi KJF adalah upaya untuk menciptakan sistem kerja yang lebih baik sesuai tugas pokok dan fungsi jabatan fungsional yang ada di dalam kelompok tersebut. Atau, secara umum bisa dikatakan sebagai rekayasa sosial. Substansinya adalah perubahan. Rekayasa sosial diciptakan akibat adanya gerakan sosial dengan tujuan ideal tertentu. Dalam konteks ini, penyuluhan bisa dikategorian sebagai gerakan sosial, yang mana tujuan idealnya adalah meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraan, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup bagi sasaran penyuluhnnya.

KJF, dalam hal ini adalah kelompok jabatan fungsional penyuluh di lingkungan Kantor Penyuluhan Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Kotawaringin Barat merupakan unsur strategis yang menentukan keberhasilan penyuluhan (pertanian, perikanan, dan kehutanan) di wilayah kerja penyuluhan Kabupaten Kotawaringin Barat. Jika ada pendapat yang mengatakan bahwa kinerja penyuluhan belum maksimal, atau ada pihak yang merasa belum puas atas kinerja penyuluhan, sebaiknya kita tanggapi secara bijak. Yang penting kita harus punya komitmen untuk tetap mengevaluasi diri, dan berusaha untuk lebih baik sesuai dengan perkembangan yang ada. Jika kita sepakat memang benar bahwa kinerja penyuluhan belum maksimal atau memuaskan, tidak ada salahnya, jika kita mencoba melakukan perubahan. Jika ini terjadi akibat kinerja penyuluh yang belum maksimal, dan jika selama ini dalam meningkatkan kinerja penyuluh hanya menggunakan pendekatan personal belum sesuai harapan, maka alternatif upaya yang harus dilakukan adalah dengan perubahan sistem. Sistem yang dimaksud adalah sistem yang mengatur tentang KJF penyuluh. Hal-hal penting terkait dengan perubahan sistem dalam KJF penyuluh adalah lain :
1.    Mengubah sebutan ”PPL” menjadi ”Penyuluh”.
Mengingat sebutan ”PPL” sudah tidak sinkron lagi dengan tugas pokok dan fungsi penyuluh. Bukankah ada kalanya jika penyuluh harus mengerjakan tugas-tugas administrsi kantor? Selain itu barangkali ada penyuluh yang mengkeret (menjadi inferior) jika disebut PPL.
2.    Menghapus anggapan bahwa KJF adalah suatu jabatan (struktural bayangan/pekerja kantoran).
Bukankah pengelompokan jabatan itu hanya ada 2, struktural dan fungsional?
3.    Mengubah konsep yang diterapkan dalam pembagian wilayah kerja penyuluhan ”satu desa, satu penyuluh” menjadi ”satu wilayah kerja penyuluhan atau satu rencana kerja, dua atau tiga penyuluh.
Ini bermaksud untuk menciptakan bergaining position penyuluh. Perlu diakui tidak semua penyuluh trampil/ahli dalam hal kegiatan lapangan, dan tidak semua penyuluh trampli/ahli dalam hal kegiatan administrasi kantor. Jadi dengan 2-3 penyuluh dalam satu wilayah diharapkan dapat saling menutupi kelemahan. Selanjutnya ini bisa disebut ”Tim Kerja Penyuluhan”.
4.    Mengubah basis absensi penyuluh di desa menjadi di BPP.
Hal ini mengingat bahwa BPP masih banyak yang perlu dibenahi, baik status kelembagaannya, maupun fasilitas-fasilitas lainnya. Selain itu penyuluh bukan bagian unsur pemerintah desa. Intinya bagaimana bisa memperkuat BPP. Sedikit keluar dari konteks, jangan terlalu banyak berpikir POSLUHDES, jika BPP masih banyak kekurangannya.
5.    Perlu adanya forum penyuluh alternatif, selain forum tatap muka (nyata), yaitu forum di dunia maya.
Ini bisa sebagai media untuk menyampaikan ide/gagasan dan diskusi. Selain murah, juga tak terbatas waktu. Bayangkan andai kata semua penyuluh menyadari manfaat internet dan terbiasa memanfaatkannya, untuk meningkatkan kapasitasnya tidak perlu menunggu undangan diklat, walaupun diakui bahwa itu penting secara administrasi.

Penutup
            Tidak ada yang sakral, kecuali Hukum Allah, Hukum Tuhan Yang Maha Esa. Penyuluh adalah agen perubahan, kenapa harus takut melakukan perubahan. Tentu, yang demikian itu perlu pemikiran yang mendalam dan komprehensif.
            Tulisan ini diharapkan dapat menginspirasi insan-insan penyuluhan yang peduli terbentuknya sistem penyuluhan yang lebih baik. Tulisan ini juga bisa diakses di www.Untuk itu, komentar, kritik dan saran atas gagasan ini sangat diharapkan.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Setuju, mohon dikawal perubahan kedepan kearah yang lebih baik, walau hanya angan-angan, moga-moga jadi kenyataan!!!!!!!!!!